Senin, 16 Mei 2011

2 Suara

"Tak berguna kau terus ada di sini!!" suara itu menggema di kepalaku. "Masih saja kau berharap?!Tak ada guna!!Cuma buang–buang waktu!!" suara yang lain mengiang menyahut. Aku cuma bisa bungkam, menertawakan diriku sendiri dalam hati. Sekelebat memori masa lalu yang pahit kembali lagi melintas di jalan ingatanku. Sungguh pahit.
***
Aku duduk lagi di tempat yang sama, menikmati indahnya langit Wirobrajan dari atap masjid Al Uswah. Termenung. Aku ingat lagi suara–suara itu. Keras pikirku tentang siapa mereka. Lucu, aku bahkan lupa sejak kapan 2 suara itu mulai menggaung di kepalaku. Memang saat awal mereka 'muncul', mereka menjadi teman ngobrol yang baik, tapi lama kelamaan mereka mulai mempengaruhiku, mengingatkanku tentang masa lalu yang tak pernah ingin kuingat lagi.


"Mas Sya'ban!!!"


DEG!Hampir saja aku jatuh dari tempatku duduk, tempat favoritku saat melamun di atap, di pinggir atap yang menghadap ke tempat parkir SMA 1. Kucari sumber suara itu, dan ternyata dari tempat parkir. Di sana seorang akhwat berdiri sambil berkacak pinggang.


"Ngelamun lagi nih, Mas?" tanya akhwat itu


Dengan jilbab lebar dan besar dan tak lupa seragam khas SMA 1, Wiji berdiri di depan gang kecil menuju masjid sambil memandang ke arahku.


"Woi, ditanyain juga. Malah diem lagi. Hampir jatuh tuh tadi. Makanya kalo ngelamun jangan 
kebablasan."


"Enak aja. Yang bikin aku hampir jatuh ya kamu itu. Orang lagi enak duduk malah diteriakin."


Wiji ini anak kelas X. Orangnya memang agamis tapi kelakuannya bisa dibilang tomboi juga. Walaupun tomboy, entah kenapa aku bisa melihat keanggunan dari akhwat ini. Ck, berpikir apa aku ini? "Jaga hati boy!" kataku pada diriku sendiri. Tapi kadang aku juga berpikir, kalau aku diberi kesempatan keliling dunia, orang aneh jenis apalagi yang akan kutemui. Di sekolah ini saja sudah banyak, bagaimana kalau di luar sana?


"Ngapain tadi kamu manggil, Wij?" tanyaku


"Nggak ada apa – apa sih, Mas. Cuma iseng aja nggangguin orang yang lagi ngelamun, hehe." balasnya sambil terkekeh.


"Weleh, ya udah. Hus hus sono pergi pergi. Ganggu orang aja."


"Yeee, malah ngusir nih. Ya udah, hmph." balasnya sambil memalingkan muka dan menghilang ke dalam gang.



Kembali lagi aku ke dalam ruang hatiku. Suasana di sini begitu nyaman, dengan teman dan adik kelas yang peduli kepadaku. Kenapa aku harus pergi? Kenapa aku harus menghilang dari sini? Kenapa 2 
orang itu selalu mempengaruhiku untuk pergi?

***
Aku duduk di kursi yang terbuat dari kerangka besi yang diselimuti anyaman rotan di teras rumahku. Sore hari di sini terasa sangat menyenangkan. Kadang sesekali ada segerombolan anak melintas dengan sepeda, saling memacu dan berteriak dengan gembira. Kadang ada juga tukang bakso dan siomay lewat, menawarkan jajanan dengan suara khasnya. Namun, sore ini terasa lebih sepi. Aku melihat jauh ke arah horizon di timur yang sesekali terhalang oleh lambaian daun pohon pisang yang tertiup angin. Sore yang menenangkan.


Halaman rumahku berisi pot–pot tanaman. Ibuku memang gemar sekali mengurusi tanaman. Dari Puring, Anthurium, Trubus, sampai Donna Carmen ada di halaman rumahku yang tergolong sempit ini. Setiap minggu, sudah menjadi jatahku untuk menyirami tanaman–tanaman ini. Dan takaran airnya juga harus pas. Kalau tidak, aku yang bakal kena omelan ibu.


Angin bertiup dengan tenang, membuat daun saling bergemerisik menimbulkan suara merdu yang tenang. Kulihat langit sore, hmm sudah memerah. Sebentar lagi malam akan turun menyelimuti bumi dengan hiasan bintang dan bulan. Dari dalam rumah, kudengar ayah memanggilku.


"Ban, tolong ke sini sebentar!"


"Siap, Yah!" balasku sambil beranjak.

***

Malam di kampungku sunyi seperti biasa. Namun tidak dengan rumahku. Malam ini, kedua orang tuaku bertengkar lagi. Entah karena apa tiba – tiba terjadi perang mulut dan semakin memanas. Aku berusaha menenangkan mereka, tapi apa daya hanya bentakan yang kudapat. Untung tidak diikuti tamparan. Aku berjalan kembali ke kamar adikku yang bungsu. Kulihat si bungsu dan adikku yang nomor dua sedikit terisak.


"Mas, Ayah dan Ibu kenapa e? Kok, bertengkar lagi?" Tanya adikku yang nomor dua.


"Sudah, nggak papa. Mungkin ada sedikit masalah." ucapku sambil duduk di kasur, di samping mereka.


Kulihat adikku yang bungsu mulai meneteskan air mata. Cukup deras. Kudekati dia dan kupeluk, seraya berbisik : "sudah, adik jangan nangis. Ayah dan Ibu pasti nanti baikan kok."


Dia hanya melihatku dengan mata polos yang berlinang air mata. Kupeluk dia lagi. Aku tak habis pikir. Kenapa kedua orang tuaku itu? Apa masalah yang dulu masih ada di benak mereka? Aku pun merasa cemas. Masalah itu sudah hampir 7 tahun yang lalu. Kenapa sekarang mencuat lagi?


Sejenak pikiranku melayang lagi ke waktu 7 tahun lalu. Aku teringat kejadian itu. Saat itu kami baru saja pindah ke Jogja. Dan waktu itu, aku masih anak–anak yang belum mengerti banyak tentang dunia. Kudengar lagi kalimat lagi yang diucapkan ibu pada waktu itu. 

"CERAI!!CERAI!!POKOKNYA CERAI!!" Dan tiba–tiba, PLAAKKK!! Tangan Ayah melayang ke pipi kanan Ibu, keras sekali. Mungkin hanya memerahkan pipi ibu, tapi hatiku hancur. Hancur serasa ada palu yang menghantamnya dengan keras dan tanpa berdosa terus saja menghantam sehingga tersisa serpihan. Aku kembali lagi ke kamar adikku. Dan tanpa sadar, air mataku pun meleleh. Aku hanya bisa berdoa. Berdoa agar semua baik–baik saja.


Jarum jam berdetik bergerak dan jarum pendek menunjuk pada angka 12. Kulihat ayah tidur di sofa di ruang tamu. Setelah pertengkaran tadi, aku hanya bisa mendiamkan adik–adikku. Mereka terlalu muda, pikirku, untuk melihat dan merasakan hancurnya sebuah ikatan sakral pernikahan kedua orang tua mereka. Lalu aku berjalan ke kamar orang tuaku. Kubuka sedikit pintunya dan kutengok ke dalam. Ibu terlihat tidur pulas di sana. Tanpa suara, kututup lagi pintu itu dan aku menuju ke kamar si bungsu. Pintunya tidak tertutup seperti biasa jadi dengan mudah dapat kulihat si bungsu dan adikku yang nomor dua tertidur di atas kasur. Tidur nyenyak Yah, Bu, Dek.


Kubuka pintu garasi sepelan mungkin tanpa bersuara. Kubuka gerbang rumah dan kukeluarkan motorku. Aku pun melaju di tengah malam, tanpa tujuan.

Kupacu motorku di jalan lingkar utara Jogja. Sepi, wajar karena sudah tengah malam.


"Sudah tahu kenapa kami bersikeras?"


Tiba–tiba suara itu muncul lagi.


"Kau sudah melihat dan merasakan. Sekarang kau melihat dan merasakannya lagi."


"Heh, orang yang kau percayai itu, kedua orang tua kau itu, menghancurkan hatimu, tidak cuma sekali, DUA KALI!!"


Aku masih diam. Mereka memang mengatakan fakta, fakta yang pahit, yang tidak bisa kuterima.


"Masih ragu kau? Untuk apa bersama mereka yang melukaimu?"


Aku diam.


"Heran, kenapa masih saja kau betah tinggal di situ? Oh, karena kau merasa bertanggung jawab kepada dua adikmu itu?"


Aku diam.


"Haha, kalau kau merasa bertanggung jawab, tuh, orang tuamu itu kau damaikan dulu! Mampu nggak?!"


Aku diam


"Aku tahu. Kau tidak mau pergi karena adik kelasmu itu kan? Siapa itu namanya?"


"Ooo, Si Wiji itu? Hahahaha. Cinta bertepuk sebelah tangan saja mau kau pertahankan? Bodoh sekali."


Aku hanya bisa diam mendengar mereka mencemoohku. Lucu, aku bahkan tidak berani berkata apa–apa. Semua yang mereka katakan benar, aku merasa bertanggung jawab pada kedua adikku, tapi aku bahkan tidak mampu mendamaikan kedua orang tuaku dari masalah lama mereka. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan dan berkata apa saat melihat kedua orang tuaku cekcok dengan kata–kata mereka. Aku hanya bisa diam. Diam melihat mereka terbakar dalam emosi mereka. Dan, dua orang itu juga benar tentang Wiji. Aku memang mengagumi Wiji. Dan mungkin juga aku suka kepadanya. 

Tapi aku tak pernah bisa mengataan itu kepada Wiji. Apa aku ini hanya pengecut?

***
Malam ini dan malam kemarin dan malam kemarinnya lagi aku tidak pulang ke rumah. Aku tidak merasa menuruti dua suara itu, hanya saja aku merasa butuh ketenangan. 2 hari ini kuhabiskan dengan menjelajahi daerah pinggiran Jogja, lalu menuju kabupaten Sleman dan Kulon Progo, dan sekarang ini aku berada di sebuah masjid di daerah Bantul. Sudah masuk waktu sholat Isya'. Segera aku ambil air wudhu dan mengikuti jamaah sholat Isya'.


Entah orang tuaku mencari dan mengkhawatirkanku. Aku pergi hanya membawa dompet, Al – Qur'an dan motor, tanpa handphone, sehingga mereka tidak mungkin bisa menghubungiku. Kutinggalkan juga sekolah hari ini dan kemarin. Mungkin suasana di kelas akan berbeda tanpaku atau malah tidak ada bedanya karena memang aku tidak membawa suatu suasana tertentu. Aku kembali ke motorku dan menyalakan mesinnya. Kupacu lagi motorku melewati malam yang ramai. Ramai, tapi entah kenapa aku merasa sepi.


"Kau menurut juga pada akhirnya." suara itu tiba – tiba muncul lagi dalam kepalaku.


"Itu pasti, mana ada orang yang tahan dengan rumah seperti itu. Kalau aku pasti sudah kabur sejak lama." sahut suara yang satu lagi.


Aku menjawab singkat : "Aku akan pulang."


"APA?!kau ini sinting atau bagaimana?! Buat apa kau pulang lagi ke tempat itu?! Membangun lagi hatimu untuk dihancurkan oleh orang tuamu?!" suara yang satu menyahut dengan kasar.


"Haha, mungkin dia ingin membangun hatinya lagi untuk orang lain yang spesial."


"Si Wiji itu? Hahahaha"


Mereka berdua tertawa mengejek, tapi aku tak peduli.


"Ini hatiku kan? Aku berhak melakukan apa saja terhadap hatiku." balasku tenang


Dengan ketus suara itu menjawab : "Itu memang hatimu, tapi tidak dengan jiwamu!"


"Apa maksudmu?"


"Kau akan segera tahu." jawab suara yang lain. Dan mereka tidak bersuara lagi.


Apa maksud mereka? Hatiku memang punyaku, tapi tidak dengan jiwaku? Ah, mereka cuma melantur saja, pikirku. "Jangan terlalu dipikirkan Ban. Toh juga kau tidak tahu siapa mereka itu", aku berkata dalam hati.

***
Aku berada di perempatan terminal Giwangan. Sebentar lagi aku pulang.


Lampu lalu lintas mengalihkan warna matanya dari merah ke hijau. Aku menarik gas motorku, menuju rumah. Sebentar lagi aku pulang. Ayah, Ibu, Adik – Adik, maaf aku terlalu egois. Maaf aku malah menjadi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi masalah. Motorku melaju di perempatan Giwangan. Kulihat ada bus malam yang melaju dari seberang menerobos lampu lalu lintas. Aku hanya bisa melihat lampu terang dari bus itu. Begitu dekat. Lalu cahaya itu menjauh. Badanku serasa ringan tanpa beban. Dan tiba–tiba semua menjadi gelap.

***
"Sudah kubilang kan? Kau memang mempunyai hatimu, tapi jiwamu tidak lagi kau punyai."


"Sudah sepantasnya kau bergabung dengan kami. Hatimu bahkan sudah hancur berkali – kali. Aku bahkan bertanya–tanya, kekuatan dari mana yang kau gunakan agar bisa bertahan dan membangun lagi hatimu itu."


Dimana ini? Aku hanya bisa melihat kegelapan yang pekat. Dan dua suara itu, apa maksud mereka? Aku tidak bisa mengingat apapun. Apa yang telah terjadi padaku?


"Dimana aku?" tanyaku pada mereka.


"Hah, bagaimana kita menjawabnya. Mungkin dia tidak akan percaya." sahut suara yang satu.


"Kau ini sudah mati, Sya'ban." suara yang lainnya berkata dengan dingin.


Mati? Apa maksudnya? Bagaimana bisa aku mati? Aku tidak mempunyai penyakit mematikan. Dan aku tidak mengalami kecelakaan. Tunggu, kecelakaan?


"Kau rupanya lupa dengan bus malam itu ya? Mengenaskan sekali, kau bahkan lupa bagaimana hidupmu berakhir."


"Dan memang sudah takdirmu begitu. Kau akan bergabung bersama kami."


Aku berpikir, aku tidak akan memungkiri kemungkinan aku di sini karena memang aku telah meregang nyawa. Terasa aneh, aku merasa tenang, bahkan ketika aku tahu bahwa aku sudah mati. Namun, aku tersentak. "Kau akan bergabung bersama kami", apa maksudnya?


"Bergabung bersama kalian?" selidikku.


"Ya, bergabung bersama kami. Menjadi bagian dari kami." balas suara itu.


"Mudahnya, kau akan menjadi suara ketiga." Kali ini suara yang lain berkata dengan nada dingin dan kalau aku bisa melihat wajahnya, aku yakin dia berkata sambil menyeringai tanda puas.


"Tidak!" balasku, "aku tidak mau bergabung bersama kalian!" "dan kenapa aku harus bergabung kalau aku mati? Aku seharusnya pergi menuju alam lain, akhirat, bukan bersama kalian menjadi semacam roh, atau mungkin suara gentayangan?"


"Kami tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." sanggah suara itu. "Kau lah yang memiliki sesuatu yang tidak kami miliki dan kami akan mengambil itu darimu menjadi kekuatan kami. Kau tidak berhak menolak!"


"TENTU AKU BERHAK!" aku berteriak pada mereka, "DAN SIAPA KALIAN INI?! KALIAN TIDAK DATANG UNTUK MEMBUATKU LEBIH BAIK. KALIAN HANYA INGIN AKU AGAR BERGABUNG DENGAN KALIAN?! MIMPI KALIAN!"


Hening tiba–tiba. Hening beberapa saat. Dan salah satu suara itu berkata, "memang salah keputusan kita, anak ini bukan tipe yang menyerah pada nasib."


"Huh, baiklah. Kita bisa mencari yang lain. Dan selamat untukmu Sya'ban. Hatimu memang milikmu, juga jiwamu."


Setelah kata–kata itu, mereka diam. Mereka pergi dalam diam. Dan tiba–tiba aku melihat cahaya.

Aku tersadar. Kulihat langit–langit suatu kamar berwarna biru. Aku merasa tangan kananku ngilu. Aku berusaha melihat ke tangan kananku, tapi sesuatu di leherku mencegahku. Aku mulai memeriksa badanku seiring menguatnya kesadaranku. Aku masih merasakan kedua kakiku sampai ke ujung jari walaupun aku tidak bisa merasakan tenaga dari paha kanan dan betis kiriku. Tangan kananku jelas utuh. Lalu kutengok tangan kiriku. Alhamdulillah, aku bisa melihat tangan kiriku terbalut perban yang sangat tebal. Aku berusaha melihat sekeliling dengan pandangan yang terbatas. Kulihat ayahku tertidur di kursi di dekat pintu kamar. Ayah, maafkan aku. Aku telah membuatmu khawatir, sangat khawatir dengan keegoisanku. Lalu, aku melihat di sebelah kiriku. Ah, sakit sekali, bahkan hanya untuk memutar leher sedikit saja aku sudah sangat tersiksa. Namun, dapat kulihat seorang akhwat duduk tertidur di samping tempatku berbaring. Wiji, kau mengkhawatirkanku? Kau mengkhawatirkanku sampai kau ada di sini? Dadaku terasa sesak. Aku telah sangat bodoh. Aku bodoh mengira tidak ada yang mengkhawatirkanku. Aku bodoh mengira bahwa aku ini sendiri. Sekarang, aku melihat mereka. Mereka ada di sini bersamaku. Air mataku meleleh.


Pagi hari. Ayah yang menemukanku pertama kali dalam keadaan sadar. Cepat–cepat beliau memanggil dokter dan menelepon ibu. Kemudian Wiji, hanya senyum dan air matanya seiring bisikan "Alhamdulillah" yang keluar dari bibirnya, tapi tak lama ia berkata "Mas, Mas jangan pergi lagi ya. Wiji mohon." Dia berkata sambil terisak. Dan aku hanya bisa tersenyum dan menganggukan kepalaku dengan pelan diiringi sakit pada leherku.


Tak lama, ibu datang ke kamar. Kulihat lagi air mata beliau, dan raut wajah penuh syukur terpancar dari wajah beliau yang terlihat kelelahan. Di belakang beliau, ada kedua adikku yang juga tersenyum dengan hiasan air mata di pipi mereka.


Ayah mendekat dan berkata kepadaku, "Ban, maafkan ayah. Ayah terlalu egois untuk sekedar melihat bagaimana tersiksanya kamu karena pertengkaran kami. Maafkan juga ibumu, Ban."

Kulihat, ibu hanya mengangguk–angguk dalam diam sambil terus menitikkan air mata. Aku hanya bisa mengangguk dan mengembangkan senyum yang bisa dikatakan tidak terkembang. Lalu pikiranku menerawang. Puji Syukur bagimu Ya Allah. Kau menyelesaikan masalah hamba-Mu dari jalan yang 
tidak bisa hamba duga.

***
Beberapa minggu setelah kecelakaan itu, aku mulai menjalani rehabilitasi. Dimulai dari menggerakkan leher, lengan, memutar badan, sampai berjalan. Terasa berat memang, tapi dengan dukungan keluarga dan orang yang kusayangi, aku yakin aku bisa melalui rehabilitasi ini. Sejenak, aku teringat akan dua suara itu. Aku bahkan belum tahu siapa mereka, tapi tidak segera kupikirkan lagi. Siapa pun mereka, mereka telat memberiku banyak pelajaran, pemikiran, dan tidak lupa dengan luka–luka ini. Aku tersenyum. Terima kasih dua suara. Semoga kalian tidak menemukan apa yang kalian inginkan, kalau hal itu hanya untuk memenuhi nafsu kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar