Senin, 30 Mei 2011

C.I.N.T.A.

Cinta itu bukanlah seperti remaja yang sedang mengeja rasa. Dan, jangan sesekali menyederhanakannya dengan mengatakan bahwa ia hanya layak untuk menjadi bagian dari sebuah cerita belaka, seperti yang dipaksakan ada dalam telenovela. Hari ini, ternyata kita sedang tidak lagi bisa merasa bangga untuk berbicara tentang cinta. ya, karena kita sudah mabuk dalam wacana-wacana yang kita pandang lebih berguna. Obrolan politik terlihat lebih sempurna untuk menjadi bagian dari diri kita sejati, entah agar kita bisa lebih terpublikasi dengan berharap bisa membuat tertekuk para bidadari.

Kita telah begitu mendewakan kedewasaan. Sehingga merasa tidak perlu lagi mengupas cinta. Ah, entahlah. Akupun tidak berani mengatakan itu sebagai sebuah ketololan, kawan.

Aku tercenung sembari mencoba untuk merenung. Apakah aku yang telah gila untuk memaksa bicara tentang cinta. Tapi, bukankah memang cinta menjadi obat mujarab yang takkan pernah bisa diramu para tabib untuk mengobati derita. Aku melihat wajah-wajah derita di kota-kota. Membaca cerita tentang orang-orang yang menderita di berita-berita media. Bukankah itu semua bisa tertanggulangi dengan cinta?

Aku hanya bicara dengan semua yang telah kupercaya. Karena saya percaya ini cinta masih lebih berharga dari logika yang dipaksakan ke dalam beribu kata.

Mari pelajari cinta dengan sepenuh rasa, hingga ia kuasa menepis segala cerita durja. Musnah segala logika-logika yang justru membuat manusia semakin nista.

-Dikutip dari http://umum.kompasiana.com/2009/09/18/dalail-cinta/ oleh Zulfikar Akbar-

Kebetulan sedang browsing dan dapat tautan artikel di atas. Setelah dibaca, artikel di atas membuat saya berpikir. Belajar tentang cinta? Tidak perlu belajar tentang cinta pada pujangga – pujangga yang pintar merangkai kata, pada aktor panggung yang lihai berkata – kata, atau pada orang tua yang telah lama menjalani hubungan rumah tangga. Kenapa? Karena kita mempunyai Dia Yang Maha Mencintai. Dia yang selalu mencintai manusia, bahkan saat manusia itu kufur terhadap-Nya. Nikmat-Nya selalu dikucurkan pada manusia dan Dia tidak melihat apakah manusia itu beriman atau ingkar pada-Nya.

Tak cukupkah contoh mencintai yang Dia berikan? Bahkan saat kita, manusia, ciptaan-Nya mendekat pada-Nya satu jengkal, Dia akan menyambut kita sejauh satu hasta. Saat kita berjalan kepada-Nya, Dia akan berlari menghampiri kita. Apakah kita masih butuh contoh yang lain lagi tentang cinta yang sejati?
Kadang kita terlalu tamak untuk sadar. Kita memberi cinta kita pada seseorang. Tentu kita akan berharap suatu feedback. Namun, sadarkah kita bahwa cinta yang kita berikan pada seseorang itu kadang tidak berbuah baik pada diri kita sendiri?

“Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.”
Cinta itu pada dasarnya fitrah setiap manusia. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang fitrah itu dapat membawa sesuatu yang tidak baik? Mari kita kembali lagi ke ruang hati kita. Apakah niat kita untuk mencintai sudah benar – benar tulus? Apakah benar – benar bersih niat kita untuk mencintai? Karena cinta itu akan menguji mereka yang benar – benar berikrar untuk mencintai. Dan ujian yang diberikan pun tidak akan pernah mudah. 

Cinta akan melihat apakah manusia yang mmpunyai cinta itu sanggup mengubah pahitnya ujian yang dialaminya menjadi sebuah energi yang membangun dan bersinergi dalam kebaikan bahkan di saat alasannya untuk mencintai itu sudah hilang.

Saya mengutip potongan sebuah artikel yang saya kopi dari teman.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata

Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukan mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"

"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah,

Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah."Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. 

"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telingan ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu.


Cinta Rasulullah adalah contoh cinta yang sangat agung. Tak perlu diragukan. Cinta beliau terhadap umatnya tidak terkira. Walaupun dulu ada dari umatnya yang getol menentang beliau, menghina beliau, meludahi beliau, Rasulullah tetap ingat dan tetap cinta kepada umatnya. Bahkan saat ajal menghampiri beliau, beliau masih sempat menanyakan kepada Jibril bagaimana nasib umatnya. Dan kata – kata terakhir beliau, "Ummatii, ummatii, ummatiii" mengisyaratkan besarnya cintanya beliau terhadap kita, pengikutnya. Dan apakah kita, sebagai umatnya, sudah menunjukkan seberapa besar cinta kita terhadap beliau?

Pun Allah sendiri mengakui bahwa tidak ada cinta seagung cinta Rasulullah kepada – Nya. Rasulullah yang sudah diampuni segala dosanya tetap beristighfar setiap malam, tetap melaksanakan solat fardhu dan tidak lalai menunaikan solat sunnah, tetap berpuasa baik yang wajib maupun sunnah. Kita patut bertanya pada diri kita, “cinta kepada Allah yang kita miliki memang tidak akan menyamai cinta yang dimiliki Rasulullah, tapi sudahkah kita mendekati cinta beliau kepada Allah?”

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa" (QS Az-Zukruf: 67)

Mencintai karena Allah. Kenapa harus mencintai karena Allah? Karena cinta kepada Dia lah yang akan membuat cinta kita akan kekal. Kita boleh mencintai sesuatu atau seseorang, tapi cinta kepada Allah harus selalu menjadi prioritas utama. Kenapa? Karena Allah sangat pencemburu. Dia akan sangat cemburu saat cinta kita terhadap makhluk-Nya kita beri prioritas lebih tinggi dari cinta kita kepada-Nya. Alasannya? Karena cinta Allah kepada kita teramat besar. Bayangkan, kita pasti juga akan cemburu saat cinta yang berikan kepada seseorang dibalas dengan cinta yang lebih kecil oleh orang itu.

Dan kadang kita lupa. Kita terlalu asyik merindu seseorang di sana. Membayangkan bagaimana dia sekarang, bagaimana wajahnya, dan kata – katanya. Dan saat kita berkesempatan untuk berkomunikasi dengannya, kata – kata yang menyebabkan zina hati pun terucap dengan dihiasi bingkai manis dari lidah kita. Pikiran kita akan selalu mendamba. Hati kita akan selalu menginginkan. Bahkan batin akan terasa kering jika absen memikirkan dirinya.

Lalu kita pun takut. Takut kehilangan dirinya. Takut jika cintanya tak menjadi milik kita. Sehingga kita melupakan bahwa cinta yang kita miliki terhadapnya adalah semu. Kenikmatan yang kita alami saat kita memberikan cinta kita kepadanya juga hanya sementara. 

Jika kita mencintai karena Allah, kita tidak akan takut kehilangan. Karena kita percaya, Allah akan selalu memberi yang terbaik untuk kita. Dan yang terbaik untuk kita itulah yang akan membawa kebaikan kepada diri kita sendiri dan kenikmatan karena cinta itu akan kekal.

(gambar : dari google image)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar