Senin, 16 Mei 2011

Kemudahan dan Kesusahan

Pasti akan sangat menyenangkan jika hidup kita selalu dipenuhi dengan kemudahan. Karena memang sudah hakikat manusia untuk bergerak seefisien mungkin, kita akan selalu berpikir untuk mencari kemudahan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan hal yang paling manusia inginkan adalah sebuah kesuksesan, sukses dalam mengenyam pendidikan, sukses dalam karir, sukses dalam bermasyarakat, sukses dalam berkeluarga dan masih banyak sukses lain yang diinginkan manusia.

Ada pepatah mengatakan “berakit – rakit ke hulu, berenang – renang ke tepian”. Pepatah tersebut mengajarkan untuk bersakit – sakit, bekerja keras memeras keringat sebelum merasakan kemudahan dan kesuksesan karena kemudahan dan kesuksesan itu akan terasa benar – benar manis saat kita telah memberikan yang terbaik. Namun, di saat kerja keras itulah, akan selalu ada beberapa dari kita yang mencari “jalan pintas”.


Oke, tidak semua “jalan pintas” yang ada di pikiran kita buruk karena hakikat “jalan pintas” di sini adalah pengefisienan usaha. Namun, jika efektifitas itu dituhankan, manusia kadang tidak acuh. Mereka menginginkan kesuksesan itu didapat dengan catatan proses kerja keras seminimal mungkin atau bahkan tereliminasi. Dan berbagai cara pun menjadi halal untuk dilakukan agar “jalan pintas” itu dapat dilewati. Contoh kecil saja, seorang pelajar atau mahasiswa pasti pernah diberi tugas oleh pengajar bukan? Pasti dia akan menemui sebuah kesusahan saat mengerjakan tugas itu, karena seperti itulah proses belajar untuk mengerti. Normalnya seorang pembelajar yang baik pasti akan membaca buku dan mencari tahu bagaimana tugas itu semestinya diselesaikan. Dan kalau masih bingung? Ada teman sekelas yang bisa diajak diskusi atau sekedar sebagai tempat bertanya. Namun, ada juga dari mereka yang berpikir praktis untuk melihat kunci jawaban. Pikir mereka, “sudah ada jawabannya kok pake acara mikir segala” .

Ironis, tapi inilah yang terjadi di keseharian kita. Contoh di atas cuma satu dari sekian banyak “jalan pintas”. Dalam skala ini, memang hasilnya akan sama, yaitu tugas dari pengajar sama – sama selesai. Namun, ilmu apa yang akan seorang pembelajar dapat saat tugas dikerjakan hanya dengan melihat kunci?

Sama saja saat nanti kita sudah bekerja. Inti dari bekerja itu bagaimana kita memakmurkan diri dan keluarga kita. Lalu apa jadinya saat proses pemakmuran ini juga mengambil “jalan pintas” seperti kasus tugas dan kunci di atas? Apakah harta yang kita dapat itu akan membawa kebaikan? Apakah harta seperti itu akan membawa keberkahan bagi kita? Apakah kita berpikir yang penting uang masuk kantong, masalah lain menyusul?

Dan apakah kita terlalu buta untuk sekedar melihat bahwa nantinya harta yang kita dapat itu untuk memberi makan anak – anak kita, untuk menyekolahkan mereka, untuk membuat hidup mereka jadi lebih baik. Apa jadinya kalau harta yang kita gunakan untuk hal – hal tersebut didapat dari “jalan pintas” tadi? Mungkin memang mereka akan berhasil menamatkan pendidikan mereka, dan mungkin mereka akan tumbuh sempurna seperti apa yang kita inginkan. Namun, apakah nanti mereka akan juga membawa kebaikan saat mereka diberi makan dan disekolahkan dengan harta yang tidak baik?

Dan nantinya harta kita itu juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta. Tidakkah kita takut saat berhadapan dengan Dia? Lalu apalah arti semua kemudahan dan kesuksesan yang kita dapat di dunia jika itu tidak membawa kemudahan pada diri kita saat akan masuk ke surga-Nya?

Berbicara tentang pertanggungjawaban terhadap Sang Pencipta, kita tidak akan lepas dari apa yang kita lakukan selama hidup. Memang, hidup yang kita lakoni sangat pendek, cuma mampir minum kata orang Jawa. Pendeknya waktu kita di dunia membuat banyak orang ingin membuat hidup ini bermakna dengan kesuksesan dan pencapaian pribadi. Namun, keinginan pribadi untuk sebuah pencapaian dan kesuksesan telah membuat banyak orang lupa. Apa guna sebuah kesuksesan diri seorang jika kita harus mengorbankan darah saudara sendiri? Apa guna sebuah pencapaian pribadi saat kita lupa untuk memberikan sebuah manfaat bagi orang lain?

Terasa ironis di saat dunia ini dipenuhi oleh para ahli yang pandai memprediksi bencana alam, situasi politik, keinginan pasar , jumlah kebutuhan pangan penduduk dan masih banyak lagi, dunia ini malah selalu kekurangan orang untuk sekedar berbagi. Tidak usah jauh – jauh untuk berbagi harta, berbagi kesedihan dan kebahagiaan pun jarang ada pelakunya.

Apakah kemudahan jarang menghampiri kita di saat kita ingin berbagi? Apakah kemudahan jarang datang dan tersenyum saat kita ingin mengikhlaskan ego untuk duduk dalam satu lingkaran yang sama? Cuma untuk sekedar berbagi. Sesulit itukah mengentaskan kesulitan untuk mendapatkan sebuah kemudahan berbagi?

Dan sesulit itukah mengikhlaskan kesuksesan saat kita dipanggil untuk melakukan hal yang benar? Sebuta itu kah kita pada kesuksesan sehingga kita tidak melihat kesusahan saudara kita? Apakah kata kesuksesan itu telah menutup telinga kita sehingga jeritan saudara kita yang tersiksa di luar sana tidak terdengar?

Cuma untuk sebuah hal yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar