Selasa, 17 Mei 2011

Seharusnya

Baru kemarin pagi saat saya memacu sepeda motor melintasi kota Jogjakarta. Terasa beda antara hidup di sini dengan di kos perjuangan sana. Ah, tentang hidup berarti tentang dunia juga.

Entah dengan anda, tapi saya sendiri berpendapat dunia ini selalu penuh peraturan. Tak perlu menyebut bentuk dan jenis peraturan tersebut, karena saya rasa kita sudah sama – sama mengerti.

Berbicara tentang peraturan berarti juga berbicara tentang cita – cita yang ingin dicapai manusia. Tanpa anda sadari, anda telah membuat peraturan sendiri kepada diri anda. Bangun jam sekian, berangkat kantor jam sekian, pulang jam sekian, bersih – bersiih rumah hari libur, jalan – jalan di akhir di minggu dan sebagainya.

Ah, betapa manusia ingin sekali menjalankan hidup ini, dunia ini seperti seharusnya yang manusia inginkan. Semua kebutuhan tercukupi, keselamatan terjamin, masa depan cerah, keluarga yang bahagia dan berkah, 
dan masih banyak lagi hal – hal yang manusia inginkan seharusnya terjadi.


Namun, dunia pun mempunyai rencana sendiri. Rencana dunia ini selalu mempunyai pengaruh terhadap hal yang seharusnya diinginkan manusia untuk terjadi.

Seperti kalimat yang sering terucap dari bibir manusia : “kita hanya bisa merencanakan, keputusan ada di tangan Yang Maha Kuasa”, tidak semua hal yang diinginkan manusia akan selalu terjadi.

Selalu, manusia diajarkan tentang makna kegagalan. Pahitnya hati dan kelunya bibir saat manusia dihadapkan oleh sebuah kegagalan. Makna kehilangan? Ah, bahkan air mata yang mengalir pun tak mampu mengobati hati yang terluka karena kehilangan yang dicintai.

Kadang, manusia berpikir : “kenapa terjadi?”, “apa salahku hingga aku mengalami hal ini?” dan sebagainya. Manusia mempertanyakan alasan kenapa hal yang seharusnya mereka inginkan untuk terjadi tidak dapat terjadi. Kadang manusia menyalahkan. Menyalahkan diri mereka sendiri, menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan saat mereka menghadapi kegagalan dan kehilangan.

Ah, hati yang terluka memang akan selalu mencari sebuah obat. Pun walau obat itu sendiri hanya sebuah obat palsu yang bernama pelarian. Pelarian saat manusia menghadapi sebuah kegagalan. Pelarian saat rasa sakit karena kehilangan tak tertahankan.

Kenapa hal yang seharusnya diinginkan untuk terjadi tidak dapat terjadi?

Pemikiran manusia akan selalu penuh dengan hal yang seharusnya diinginkan terjadi. Saking penuhnya, manusia tidak dapat membuat prioritas dan manusia lupa untuk melihat di antara kejadian – kejadian di sekitarnya.

Apakah hal yang seharusnya diinginkan untuk terjadi itu dapat membawa kebahagiaan pada manusia?

Kadang jawaban yang didapat adalah kata tidak.

Kata “seharusnya” akan selalu terngiang dalam angan manusia. Angan yang menginginkan dunia ini sempurna untuknya., sempurna saat dia meraih keberhasilan, sempurna saat dia merengkuh kebahagiaan.

Manusia lupa. “Seharusnya” membuat mereka lupa bersyukur. Lupa melihat saudara mereka. Lupa berempati. Lupa bersimpati. Dan lupa merasakan.

Bahkan lupa mengingat bahwa manusia hanyalah fana. Lupa bahwa manusia hanyalah ciptaan yang diberi amanah. Lupa bahwa manusia akan selalu kembali. Lupa bahwa mereka akan diminta dimintai pertanggungjawaban atas diri mereka.

“Seharusnya” manusia tidak lupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar