Selasa, 14 Juni 2011

Di Gerbang Terakhir

Rangkanya remuk. Dan dagingnya tidak lagi mencerminkan sebuah jalinan otot yang biasa terlihat saat seorang manusia bergerak. Sungai merah mengalir dari kepalanya, entah darimana hulu sungai itu. Sungai itu sangat deras. Tak pelak, parasnya yang tertera tidak lagi sama seperti foto pada tanda pengenal. Dia terbatuk. Mulutunya terisikan liur bercampur darah. Bagi orang lain yang melihat, darah itu tidak akan diketahui asal – usulnya. Namun, diat tahu organ dalam yang pecah adalah penyebab darah itu. Entah hati, lambung, ginjal, atau usus, tapi dia jelas masih merasakan denyut jantung dalam setiap tarikan napasnya yang semakin melemah.

Dia terbatuk lagi. Megap – megap, dia merasakan darah di mulutnya mulai masuk lagi ke kerongkongan dan tenggorokan. Dia tahu waktunya sudah dekat. Dan dia melihat tangan kanannya. Namun, bukan karena ingin dia melakukan itu. Lehernya terasa sangat berat, bahkan hanya untuk sekedar digerakkan untuk menoleh saja. Kepala itu sudah terkulai, dan mata itu memang mengarah ke tangan kanan miliknya. Dia melihat tangan kanannya. Bentuk tangan itu tidak lagi pada wajar. Bagian siku ke bawah sudah berbalik kea rah yang tidak seharusnya. Dia melihat sebuah luka besar. Luka itu dengan tegar menganga, memperlihatkan tulang putihnya yang tercemar merah darah.


Dia terbatuk, merasakan waktu yang diperkenankan dalam kefanaan dunia sudah tidak lama lagi untuknya., merasakan bahwa akan sampai pada batas segala usahanya dalam kebaikan hidup.

Matanya tertutup. Kemudian memori itu kembali. Dia kembali merasakan darah ibu yang membalut dirinya saat dia terlahir. Dia merasakan kembali sakitnya jatuh dan suara tangisnya saat dia berjalan. Dan dia merasakan hangatnya tubuh ibu saat ibu mendekapnya. Ah, dia rindu dekapan ibu.

Memori itu menghilang. Namun, tak lama karena memori itu kembali lagi. Dia melihat lagi senyuman ayah saat pertama kali ayah mengantar dia memasuki gerbang sekolah. Waktu itu, dia masih takut dan hampir menangis lagi. Lalu ayah memegang pundaknya, menguatkannya, meyakinkan dirinya bahwa sekolah itu menyenangkan karena dia akan bertemu teman – teman dan ibu guru yang baik. Dia melihat lagi gurat keras dari wajah ayah. Gurat keras yang menggambarkan kerasnya hidup yang ayah lalui untuk sang buah hati. Dia teringat lagi kerasnya tangan ayah saat ayah memeluknya. Pelukan yang ayah berikan saat dia diwisuda untuk pertama kali. Lalu, dia melihat dua bola mata yang berkaca – kaca saat ayah berkata padanya, “ayah bangga, Nak.” Dan rindu tak tertahankan lagi.

Sepancar mata air mulai memenuhi membanjiri bola matanya. Lalu mata air itu tumpah menjadi sebuah sungai bening air mata yang membersihkan bekas air merah yang memenuhi wajahnya walaupun cuma segaris.

Dan memori itu kembali lagi. Dia merasakan lagi rasa hati yang membuncah saat cinta itu mulai tumbuh. Dia merasakan lagi kegalauan saat dirinya merindu seorang wanita. Dia merasakan lagi sebuah sensasi ketegangan yang menjalar saat dia mendatangi rumah itu bersama ayah dan ibu. Ya, rumah seorang wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya. Dia kembali merasakan kembali sebuah rasa yang dulu tidak dapat dilukiskannya saat pernikahannya dengan wanita itu. Dan dia teringat kata – kata wanita itu saat mereka membangun sebuah rumah tangga. Dia kembali merasakan kehangatan yang diberikan wanita itu. Dan dia teringat sebuah senyuman. Sebuah senyuman terakhir milik bibir indah saat wanita pendamping hidupnya syahid untuk melahirkan buah hati mereka. Senyuman itu begitu indah. Saat itu, dia cuma bisa menangis sambil memegang tangan belahan jiwanya itu. Namun, sekarang dia tersenyum.

Dia terbatuk lagi. Matanya kembali terbuka. Dia menerawang ke langit malam itu. Dia mendengar hiruk pikuk orang berteriak dan derap langkah orang – orang berlarian, juga sirine yang terus menggaung memenuhi malam itu. Namun, dia tidak peduli.

Memori itu kembali. Memori saat dia berpeluh deras membesarkan sang buah hati. Dia teringat saat dia menunggui sang buah hati belajar berjalan. Beberapa kali terjatuh sambil menangis keras. Dan tangis itu berubah menjadi gelak tawa yang menyejukkan hati saat buah hatinya sudah berjalan. Berjalan menujunya dengan senyum dan tawa. Dia rindu senyuman itu, gelak tawa itu, jerit tangis itu.

Dia terbatuk lagi. Tidak ada lagi rasa sakit yang dirasakan. Mata itu terbuka. Dia ingin melihat langit malam untuk terakhir kali. Langit tempat sejuta bintang tersenyum kepada manusia yang sedang dilanda masalah hidup. Langit tempat sejuta mimpi dunia digantungkan oleh manusia. Dia terbatuk. Sudah waktunya. Lidahnya mengucap nama Rabbnya dan Rasulnya. Mata itu tertutup. Semua memori itu hilang. Semua mimpi telah pupus. Namun, dia tersenyum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar