Selasa, 28 Juni 2011

Jodoh Itu . . . . .

“Terus, kalau misalnya nggak jadi sama dia, kamu bakal gimana, Much?”

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar dari teman – temanku. Seperti biasa, pertanyaan seputar akhwat idaman untuk seorang pendamping hidup. Dan aku sendiri pun kadang bingung, teman – teman sering menjadikanku sebagai tempat curhat masalah kegalauan hati karena ada akhwat yang memenuhi pikiran, padahal aku pun sering mengalami masalah yang sama. Apa mereka berpikir bahwa aku ini sudah mantap dengan pilihanku? Padahal aku sama sekali tidak mengatakan akan segera mengkhitbah akhwat manapun. Ya ampun.

“Wah, kok tanyanya bakalan gimana? Jelas dong, ikhlaskan saja. Hlawong sudah jadi punyanya orang lain kok. Masa’ mau diminta?” jawabku sambil lalu saja dan kuambil majalah terbitan Rohis SMA bulan ini dari rak masjid sekolah di dekatku.


Aku melihat ke arah temanku itu. Kalau dilihat dari raut mukanya, ketidakpuasan terpancar dengan jelas. Dahinya saja sudah mengernyit, menunjukkan kalau sedang berpikir. Duduknya pun tak tenang karena mungkin jawaban yang diberikan tidak memuaskan. Mulutnya sudah menunjukkan gelagat akan mengeluarkan sebuah pertanyaan lagi. Namun, aku potong duluan.

“Emang bener kalau aku kagum sama dia. Orangnya easy – going, wawasannya luas, rajin, keibuan, sabar, dan yang lebih penting lagi, dia seorang sholehah yang mau menjalankan agamanya dengan baik. Terus, apa kagumku itu berarti aku mewajibkan diriku sendiri untuk menjadikan dia sebagai pasangan hidup?”

Temanku terdiam lagi. Namun tidak lama karena dia segera menyahut.

“Tapi kan kamu yang deket sama dia, Much. Apalagi aku dengar, dia juga sering curhat gitu sama kamu? Jadi kenapa nggak?”

Aku ingin tertawa, tapi akhirnya kutahan dan kusimpan dalam hati. “Jadi, kenapa nggak?” adalah pertanyaan yang selalu menyindirku. Aku sendiri pun tidak akan menolak kalau memang akhwat itu adalah jodohku. Dengan kepribadian bagus, paras muka yang cantik, latar keluarga yang bisa dibilang mumpuni, sholehah lagi, semua ikhwan pasti akan terpikat. Dan teman – temanku pun mengatakan bahwa aku ini beruntung karena sudah bisa mengenal dan menjadi salah satu tempat cerita akhwat itu. Namun, pandanganku berbeda.

“Kenapa nggak? Karena aku sadar kalau aku ini masih perlu banyak memperbaiki diri. Aku sadar bahwa aku ini masih belum bisa dikatakan pantas untuk seorang akhwat seperti dia. Aku belum dapat mengendalikan diriku dengan benar, shalatku pun masih molor, pun dengan tadarus yang tidak setiap hari. Dan kadang niat ibadahku pun masih terkotori, tidak ikhlas. Aku ini masih belum bisa disejajarkan dengan ikhwan – ikhwan lain yang getol beribadah dan berdakwah. Bagaimana aku akan bilang aku ini pantas padahal aku sendiri sadar bahwa aku ini belum pantas?”

Nadaku selalu agak naik saat menjawab pertanyaan yang satu ini. Aku tidak emosi, tapi aku memang sadar bahwa bekalku masih sedikit sekali. Dan temanku itu terlihat agak kaget dengan jawabanku.

“Maaf, Much. Aku nggak ada niatan menyinggungmu. Mungkin tadi aku agak kelewatan.” temanku berkata sambil mendekatkan posisi duduknya di sampingku.

Aku cuma menghela napas. Aku selalu merasa sensitif jika ada orang yang menyinggung masalah “pantas – pantasan” seorang ikhwan untuk seorang akhwat dan sebaliknya. Prinsip bahwa seorang ikhwan yang baik untuk akhwat yang juga baik dan sebaliknya terus aku pegang teguh, sehingga aku tidak lelah untuk memperbaiki diri. Aku pun merasa sangat beruntung karena lingkunganku mendukung dan selalu “menampar” jika aku terlupa lalu malas. Alhamdulillah.

“Aku tidak tersinggung. Hanya saja, aku nggak suka dengan kata “Kenapa nggak?” yang kau ucapkan tadi.”

“Loh, kenapa nggak suka? Itu kan cuma pertanyaan biasa?”

“Serasa dilabeli aja. Seakan kedekatanku itu sudah cukup membuatku bakal jadi kandidat kuat buat dia, dan seakan – akan dia juga pasti akan menerima khitbahku. Padahal semua itu kan belum pasti.”

Tanpa menunggu temanku berbicara, aku menambahkan “dan buatku, seorang istri tidak bisa didapatkan hanya dengan menunggu waktu lalu kemudian datang dan khitbah. Aku mencari keberkahan dalam pernikahanku, dan keberkahan itu tidak cuma didapat dengan khitbah, ta’aruf, lalu walimah saja. Aku selalu berpikir, apa jadinya kalau aku ini tidak memperbaiki diriku tapi khitbahku diterima oleh seorang akhwat yang “sangat jauh” dariku. Aku bahkan sudah merasa malu saat membayangkan hal itu.”

Kami terdiam sejenak dan aku menarik napas lagi. Mungkin aku berpikir terlalu jauh. Namun, seperti itulah aku. Jodoh itu bukan menjadi sembarang hal yang bisa dibahas seenaknya saja. Apalagi masalah “pantas – pantasan” dan labeling tadi, serasa jodoh itu bisa didapat dengan cara segampang itu.

“Terus, kau itu pengen punya istri yang kayak apa sih, Much?” temanku itu memecah keheningan sejenak tadi. Mengalihkan topik rupanya. Ya sudah, aku ikuti saja.

“Aku tidak pernah muluk. Asal dia seorang akhwat yang sholehah, mengerti agama, dan mampu menjadi seorang istri dan ibu yang baik, cukuplah buatku.”

Tak disangka, temanku itu tertawa. Kebingungan, aku bertanya kepadanya “Loh, pake acara ketawa kau ini?”

“Aduh maaf, Much. Nggak, kalau aku bilang sih, itu cuma jawaban umum yang dipakai semua ikhwan saat ditanya hal yang sama. Apa nggak ada kriteria khusus buat istrimu?”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “haha, aku cuma ingin istriku itu seorang yang pengertian. Mengerti kalau aku ini ya aku. Tidak kurang tidak lebih. Aku ingin dia menerimaku apa adanya. Menerima apa yang bisa kuberikan sebagai seorang suami. Tentu saja, masalah keberkahan tadi tidak dikecualikan di sini.”

“Wah berat dong kalau gitu? Sekarang saja nggak banyak dari teman – teman kita yang bisa memahami jalan pikiranmu.”

Aku tersenyum, “Ah tidak juga. Karena aku selalu percaya kalau tulang rusuk itu tidak akan pernah tertukar.”

1 komentar:

  1. _semoga bisa comment, ndak gagal lagi hehehehe_

    wuih... ngomongin jodoh euy...
    nih juga keknya settingan jaman SMA bahula ya...
    ternyata oh ternyata...

    jangan sampai kau melangkahi diriku yaks
    xxixixixixixixi
    *tertawa licik*

    BalasHapus