Cinta itu bukanlah seperti remaja yang sedang mengeja rasa. Dan, jangan sesekali menyederhanakannya dengan mengatakan bahwa ia hanya layak untuk menjadi bagian dari sebuah cerita belaka, seperti yang dipaksakan ada dalam telenovela. Hari ini, ternyata kita sedang tidak lagi bisa merasa bangga untuk berbicara tentang cinta. ya, karena kita sudah mabuk dalam wacana-wacana yang kita pandang lebih berguna. Obrolan politik terlihat lebih sempurna untuk menjadi bagian dari diri kita sejati, entah agar kita bisa lebih terpublikasi dengan berharap bisa membuat tertekuk para bidadari.
Kita telah begitu mendewakan kedewasaan. Sehingga merasa tidak perlu lagi mengupas cinta. Ah, entahlah. Akupun tidak berani mengatakan itu sebagai sebuah ketololan, kawan.
Aku tercenung sembari mencoba untuk merenung. Apakah aku yang telah gila untuk memaksa bicara tentang cinta. Tapi, bukankah memang cinta menjadi obat mujarab yang takkan pernah bisa diramu para tabib untuk mengobati derita. Aku melihat wajah-wajah derita di kota-kota. Membaca cerita tentang orang-orang yang menderita di berita-berita media. Bukankah itu semua bisa tertanggulangi dengan cinta?
Aku hanya bicara dengan semua yang telah kupercaya. Karena saya percaya ini cinta masih lebih berharga dari logika yang dipaksakan ke dalam beribu kata.
Mari pelajari cinta dengan sepenuh rasa, hingga ia kuasa menepis segala cerita durja. Musnah segala logika-logika yang justru membuat manusia semakin nista.
-Dikutip dari http://umum.kompasiana.com/2009/09/18/dalail-cinta/ oleh Zulfikar Akbar-
Kebetulan sedang browsing dan dapat tautan artikel di atas. Setelah dibaca, artikel di atas membuat saya berpikir. Belajar tentang cinta? Tidak perlu belajar tentang cinta pada pujangga – pujangga yang pintar merangkai kata, pada aktor panggung yang lihai berkata – kata, atau pada orang tua yang telah lama menjalani hubungan rumah tangga. Kenapa? Karena kita mempunyai Dia Yang Maha Mencintai. Dia yang selalu mencintai manusia, bahkan saat manusia itu kufur terhadap-Nya. Nikmat-Nya selalu dikucurkan pada manusia dan Dia tidak melihat apakah manusia itu beriman atau ingkar pada-Nya.