Kamis, 10 November 2011

Aku Hina dan Tak Tahu

Seharusnya sajak ini
aku tulis ‘tuk melipur lara ibu
yang terluka, berdarah
oleh pisau – pisau tamak


Dan rima – rima ini
Seharusnya menjadi obat
Tuk sakit ibu, yang jamak
Bergantian mampir, pergi tak permisi


Pun kata – kata ini
Kuat pun tidak membendung air mata
Oh ibu, engkau yang begitu lara
Tercabik, termaki, terhina


Dan seharusnya aku ini
Malu, malu karena tak mampu
Melindungi, merawat, melipurmu ibu
Aku ini hina, aku tak tahu

Aku Hina dan Tak Tahu
10 November 2011
09:08

Hari ini hari pahlawan, dan aku masih tidak tahu cara memaknai dan apa makna pahlawan. Sampahkah? Mayatkah? Atau Cuma orang – orang bodoh yag berani karena naïf? Aku tak tahu

Sabtu, 22 Oktober 2011

Satu Milyar Titik Air

Satu milyar titik air menghujam bumi
Dengan berkah
Pada daun tanpa urat
Pada ranting sekarat, meregang mati hidup segan
Pada batang kering, kosong tak brarti
Dan bumi, pucat, seakan jalinan hidup telah dipecat


Satu milyar titik air
Mereka lewat satu jalan panjang
Berliku, menyimpang, bertransformasi
Dan membumbung, ke tirai biru


Satu milyar titik air menutup tirai kelabu
Dengan berkah, dengan indah
Lalu mencipta pelangi
Pada kanvas indah angkasa

Satu Milyar Titik Air
30 September 2011
13:45

Pertanyaan Sang Maut

Apa perlu manusia?
Kubawakan lilin - lilin kepadamu
Redup, menyala dengan setali bara
Lalu lenyap, membawa gelap dalam segenggam semu


Apa perlu manusia?
Kuhadirkan kau pada hutan – hutan merah
Layu, mengharap sewelas dari fana
Dan akar pun tenggelam daun, menjadi tanah


Apa perlu manusia?
Kuberikan tanganmu waktu
Tak akan kau rasa sebuah bernama usia
Dan matamu bersaksi atas kefanaan yang terbuang, semu


Apa perlu manusia?
Kudatangkan kau pada saudara – saudara sekarat
Yang merengek, menangis, meminta pada dunia
Dan yang bersyukur, merindu pada Cinta Sejati, pada akhirat


Apa perlu manusia?
Kuhadiahi kau satu bernama abadi
Dan sesekali kau merasa senang atas fana
Lalu dunia, mempuisikan kau dalam sepi


Apa perlu manusia?
Aku sendiri menyapamu dalam keseharian
Mengingatkanmu, menasihatimu, memelukmu sebentar saja
Bahwa aku merindumu, dalam dekapan kafan

Pertanyaan Sang Maut
3 Oktober 2011
22:40

Jumat, 21 Oktober 2011

Sang Perentang

Lembar layar terkembang
Mengantar sunyi dengan sentuhan lembut
Kala tirai kelam menggantung langit
Membekap dingin tanpa sebuah welas


Dan pada ombak hitam
Tersimpan padanya sejuta rahasia dunia
Apakah layar gentar
Pada penyimpan rahasia dia bergantung


Kala jaring terbentang
Menangkap dingin pada hitam tak berujung
Berharap pada penyimpan rahasia
Sepercik nikmat dari kubangan dunia


Lalu sang perentang terdiam
Terpekur di dalam sebuah sujud
Mengharap berkah dari sepercik
Untuk hidup

Sang Perentang
7 September 2011
17:11

Di Mana Sandangku?

di mana sandangku?
lupakah aku memakai satu?
pun dera tak berwelas
memutar lagi yang terbias


di mana sandangku?
hujam kejam idiom kaku
meluka kalbu tak berparas
dan tercecer, hapuslah bekas


di mana sandangku?
seperti penjaja saja aku
pada hati - hati ganas
bernafsu selaksa tetas


di mana sandangku?
di mana hidupku?
sudah tak ada berbelas?
atau cuma tak berbalas?


Di Mana Sandangku?
11 September 2011
11:50

Senja Pertama di Bulan September

Yang akan aku rindu
Senja pertama di bulan September
Seperti buket bunga pelangi
Mewarna sejuta indah pintu langit


Yang tak akan kulupa
Senja pertama di bulan September
Dalam naungan bayang kota lama
Aku meniti hapusan cerita terukir


Yang akan kubingkai emas
Senja pertama di bulan September
Senyuman goresan bulan
Lalu damai, dingin, dan putih


Yang menjadi memori, membunuh bagai candu
Senja pertama di bulan September
Dan semua tak lagi menjadi sepadan
Malam tidak lagi mempunyai bulan

Senja Pertama Di Bulan September
15 September 2011
17:50

Senin, 29 Agustus 2011

Satu Hari Memori

Subuh ini aku terbangun dengan senyum bulan menggantung pada selimut hitam
Mengiangkanku akan seulas senyummu saat kita bercengkerama dulu
Ya, senyuman sederhana di kala itu
Dan setiap gelak tawa yang terhambur terciprat lelucon yang kau lemparkan
Aku pun tersenyum

Pagi ini aku tertegun dengan rindang pohon yang kulalui di sudut jalan
Membawa memori kembali ke tempat itu
Tempat yang menyejukkan, tempat kita bersama, tempat kita saling berbagi dalam peduli
Dan kau tahu?
Aku rindu

Terik matahari sangat membakar sesiang ini, dan sama juga dengan siang – siang yang kita lalui dulu
Membuncah dalam kalbu setiap indah detik waktu yang berlalu
Sesiang itu, saat bersama di kantin, di lapbas, di sinom, di sekolah
Ya, sesiang yang selalu bermakna buatku karena kau selalu ada
Dan aku kembali harus berjalan

Sore ini, aku kembali lagi ke tempat yang buatku adalah rumah keduaku
Yah, mungkin hanya ingin melepas rindu pada suasana dan waktu yang telah berlalu
Dan kau pun ada di tempat ini, apakah tujuan kita sama?
Apakah sama rindu yang kita rasa?
Aku tak tahu, yang jelas aku selalu senang di kala kita bertemu
Mungkin sesaat bernostalgia dengan masa lalu apa perlu?

Aku tak tahu
Karena jelas buatku, waktu bersamamu adalah layaknya emas di kala senja
Layaknya tetes embun yang sejuk di pagi hari
Layaknya rindang pohon yang menaungi di kala siang
Dan seindah rembulan yang selalu bersinar pada waktu malam

Kau tahu?
Karena kau adalah sahabatku

Selasa, 28 Juni 2011

Jodoh Itu . . . . .

“Terus, kalau misalnya nggak jadi sama dia, kamu bakal gimana, Much?”

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar dari teman – temanku. Seperti biasa, pertanyaan seputar akhwat idaman untuk seorang pendamping hidup. Dan aku sendiri pun kadang bingung, teman – teman sering menjadikanku sebagai tempat curhat masalah kegalauan hati karena ada akhwat yang memenuhi pikiran, padahal aku pun sering mengalami masalah yang sama. Apa mereka berpikir bahwa aku ini sudah mantap dengan pilihanku? Padahal aku sama sekali tidak mengatakan akan segera mengkhitbah akhwat manapun. Ya ampun.

“Wah, kok tanyanya bakalan gimana? Jelas dong, ikhlaskan saja. Hlawong sudah jadi punyanya orang lain kok. Masa’ mau diminta?” jawabku sambil lalu saja dan kuambil majalah terbitan Rohis SMA bulan ini dari rak masjid sekolah di dekatku.

Senin, 27 Juni 2011

Dalam Prasangka

Kadang kau salah
Mengartikan satu wajah
Di kacamu terpancar sebuah lelah
Isi hati sebenar tabah


Kadang kau ragu
Sangka tetes embun itu ciu
Terbiaskan satu sebuah ambigu
Membunga nista di buket rancu


Kadang kau benar
Tuk membanjir lesung dalam nanar
Melayar agung suci berbinar
Karna kargo benar terkumpul tak buyar

Selasa, 14 Juni 2011

Di Gerbang Terakhir

Rangkanya remuk. Dan dagingnya tidak lagi mencerminkan sebuah jalinan otot yang biasa terlihat saat seorang manusia bergerak. Sungai merah mengalir dari kepalanya, entah darimana hulu sungai itu. Sungai itu sangat deras. Tak pelak, parasnya yang tertera tidak lagi sama seperti foto pada tanda pengenal. Dia terbatuk. Mulutunya terisikan liur bercampur darah. Bagi orang lain yang melihat, darah itu tidak akan diketahui asal – usulnya. Namun, diat tahu organ dalam yang pecah adalah penyebab darah itu. Entah hati, lambung, ginjal, atau usus, tapi dia jelas masih merasakan denyut jantung dalam setiap tarikan napasnya yang semakin melemah.

Dia terbatuk lagi. Megap – megap, dia merasakan darah di mulutnya mulai masuk lagi ke kerongkongan dan tenggorokan. Dia tahu waktunya sudah dekat. Dan dia melihat tangan kanannya. Namun, bukan karena ingin dia melakukan itu. Lehernya terasa sangat berat, bahkan hanya untuk sekedar digerakkan untuk menoleh saja. Kepala itu sudah terkulai, dan mata itu memang mengarah ke tangan kanan miliknya. Dia melihat tangan kanannya. Bentuk tangan itu tidak lagi pada wajar. Bagian siku ke bawah sudah berbalik kea rah yang tidak seharusnya. Dia melihat sebuah luka besar. Luka itu dengan tegar menganga, memperlihatkan tulang putihnya yang tercemar merah darah.

Minggu, 12 Juni 2011

Bahwa

Bahwa di dalam diriku
Aku selalu lupa melihat
Sajak – sajak kosong
Terlupa telah terbuang Cuma


Bahwa di sekitar aku
Tidak lagi pernah mendengar
Sentuhan jiwa yang hangat
Cuma ingin yang terkotori


Bahwa sebuah dunia tempatku
Aku tidak lagi merasa
Kebaikan – kebaikan terikat
Tinggal ceceran harapan semu

Malam Itu - cerita yang lain

Resi tidak lagi takut. 

Takut tentang keburukan sikapnya yang telah merusak hati wanita itu. Resi tahu wanita itu telah tahu. Tahu tentang rasa yang telah tumbuh dan mulai layu. Rasa yang layu karena tidak terjaga dan terpupuk dengan baik. 

Dan kini rasa itu Cuma menjadi bongkahan kecil dalam hati. Bongkahan yang sebenarnya berharga. Hanya saja Resi lupa. Lupa seberapa harga bongkahan itu. Lupa bagaimana niatannya dulu saat bongkahan itu cuma tergeletak di sudut ruang hatinya. 

Namun, Resi telah sadar. Resi menempatkan bongkahan itu dalam sebuah kotak mungil bertatahkan emas. Cukup kecil saja, kata Resi. 

Karena sekarang Resi telah sadar. Bahwa kotak yang lebih besar adalah hak untuk seorang wanita. Hak untuk semua memori dan cerita yang akan tersimpan. Semua memori dan cerita bersama wanita yang akan menemani sisa hidupnya. Dalam sebuah berkah.

Senin, 06 Juni 2011

Sajak Bisu Merpati

Kau mungkin tidak tahu.

Bahwa aku tidak pernah jatuh tanpa tidak memikirkanmu.
Bahwa aku tidak pernah nyenyak tidur saat kau sedang gundah.
Bahwa aku tidak pernah mengecap nikmat sajian dunia jika kau sendiri lupa untuk menarik napas sejenak.

Kau mungkin tidak tahu.
Seberapa keringat yang aku rampas untuk sekedar tahu bagaimana kabarmu.
Seberapa harga yang aku beri untuk melihat teduh matamu.
Seberapa besar hatiku saat aku tahu bahwa kau sedang tersenyum.

Kau mungkin tidak tahu.
Bagaimana hatiku bertransformasi menjadi puing – puing saat aku tahu aku telah menyakitimu.
Bagaimana otakku terus berputar ketika aku tahu kau sedang dalam kebingungan.
Bagaimana aku ingin mendekapmu di saat kau rapuh.

Kau mungkin tidak tahu.


Minggu, 05 Juni 2011

Sonata Musisi Jalanan

Sesak keringat sengat debu cuma berlalu

Bahkan dingin pelukan angin malam kau trabas

Cuma modal gitar kecil suara cempreng

Kakimu rajin lincah dari satu bus ke satu bus


Sonata Hitam Putih

Akan selalu berpalingkah?
Di mana Sang Putih berdiri?
saat tempat damai tiada lagi
terpenuhi abu - abu mencaci
ternilai niat yang tak lagi suci

Di mana Si Hitam terpatut?
karena sarkastik selalu mengikut
menghujan perih dalam hati yang berlutut
dalam sebilah pisau bernama rasa takut

Sabtu, 04 Juni 2011

Sonata Pencuri Berdasi

Perlulah uang untuk dasi baru
Tak tahukah kau pencuri berdasi?
Namamu tercaci termaki mulut kami
saat kau injak saudara senegeri
dan perut buncitmu terisi darah tak terberi

Hei pencuri berdasi!
Sudah kau makan hak kami
tak acuh pada kata busukmu kami
mati hidupmu kami tak peduli



Malam Itu

Malam itu seperti biasanya. Selimut langit yang hitam berhiaskan indah bintang dan senyuman rembulan. Malam itu seperti biasanya, aktivitas sudah terlihat lengang karena orang – orang mulai kembali ke peraduannya, menjelajah alam mimpi. Malam itu seperti biasanya, Resi duduk di atap rumahnya, merenung.

Malam itu seperti biasanya. Ia berbicara dengan dua temannya di depan pos satpam sekolahnya dulu. Tidak bisa dilukiskan seperti apa warna hati Resi pada malam itu. Sebuah fakta yang pahit menjangkau permukaan dan menampar dirinya dengan keras. Dan Resi merasa sangat bodoh. Malam itu seperti biasanya, hanya saja terpaut oleh puluhan ribu detak waktu yang telah berlalu.

“Huft, salahku ya? Kenapa tidak sadar lebih awal? Kenapa juga aku tidak berusaha memperbaiki diri?” ia bertanya lagi pada dirinya. Dan entah sudah berapa kali pertanyaan yang sama memenuhi sunyi malam itu. 

Dan entah sudah berapa kali benak Resi berjalan kembali ke masa malam itu.

“Mas itu sebenarnya baik kok, cuma mungkin kebiasaan mas kadang tidak pas. Dan itulah yang menyebabkan dia merasa sebal sama mas.”

“Kalau menurutku sebaiknya mulai sekarang kamu lebih berpikir lagi sebelum bertindak, Res. Karena kamu tidak akan pernah tahu akibat dari tindakanmu, kan?”

Selama ini, Resi tidak pernah merasa takut berbicara tentang mimpi karena ia selalu percaya semakin banyak orang yang tahu semakin banyak pula doa yang terucap. Dulu, saat masih duduk di bangku SMP, ia selalu bercerita tentang mimpi untuk melanjutkan sekolah di salah satu SMA favorit di kota. Mimpi itu pun menjadi kenyataan. Dan saat SMA, Resi tidak pernah ragu untuk bercerita tentang mimpi untuk melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi ternama. Mimpi itu pun kembali menjadi kenyataan.

Dan malam ini, ada satu mimpi yang menjadi sumber renungan Resi. Mimpi ini adalah mimpi Resi tentang hati. Tentang separuh agama yang harus dilengkapi. Tentang sebuah keluarga. Mimpi Resi ini adalah mimpi tentang seorang wanita.

Masalah Pilihan


Pernah dihadapkan pada sekelompok pilihan di saat yang bersamaan? Saat kita harus memilih salah satu dari sekian banyak pilihan yang tersedia, dan pilihan – pilihan itu cuma tersedia saat itu? Atau pernah mendapat amanah yang berjubel beserta tuntutan amanah tersebut untuk segera dipenuhi yang kadang membuat kita pusing menentukan prioritas? Atau pernah kita berhadapan dengan pilihan yang akan menentukan bagaimana hidup kita akan berjalan? Suatu pilihan yang nantinya akan berdampak besar bagi diri kita?

Saya yakin. Jawaban pernah akan terucap dari mulut kita saat ditanya seperti itu.

Namun, pernahkah kita berpikir?

Akan selalu ada kebaikan yang datang dari setiap pilihan yang kita ambil.

Masalah kebaikan itu akan datang mengambil bentuk apa, kita memang tidak akan pernah tahu.

Contoh saja, beberapa minggu yang lalu saya sudah berjanji kepada kabid Infomed IMMSI untuk ikut dalam LDK terakhir IMMSI sebelum masa kepengurusan berakhir pada hari sabtu dan minggu. Namun, menjelang hari keberangkatan, saya malah dibuat galau dengan adanya tugas dari dosen yang mendesak untuk diselesaikan. Sesiang itu, akhirnya saya izin pada Kabid dengan alasan ada tugas dari dosen yang mendesak untuk segera diselesaikan. Tentu ada rasa tidak enak di hati, apalagi saya juga tidak pernah ikut acara tersebut. Dan ternyata dengan saya tidak ikut pun, tugas tersebut tidak bisa selesai pada waktunya.
*infomed IMMSI adalah bagian informasi dan media Ikatan Mahasiswa Muslim Akuntansi

Namun, ternyata kebaikan dari pilihan saya itu datang juga. Pada sabtu malam, saya membuka grup Katy All Years di jejaring sosial facebook. Rupanya ada post yang berisikan pembahasan mengenai kedatangan adik – adik SMA N 1 Yogyakarta yang baru saya mengikuti ICYS di Rusia dan dijadwalkan datang hari minggu sore di bandara Soekarno - Hatta. Dan ternyata guru Pembina yang bertugas untuk menjemput mereka berhalangan hadir. Akhirnya, saya memberanikan diri jadi relawan untuk menjemput mereka untuk diantar ke rumah salah satu alumni SMA 1 di daerah Bintaro, walaupun saya sendiri tidak pernah ke bandara Soekarno – Hatta. Dan Alhamdulillah, mereka berdua pun dapat diantarkan dengan selamat sampai tempat persinggahan di Bintaro.

Dan selain itu, pada sabtu malamnya juga. Ada seorang teman yang datang ke kos. Ada perlu untuk curhat rupanya. Alhamdulillah, saya dapat menjadi pendengar yang baik dan sedikit banyak dapat memberi solusi untuk beliau.

Contoh di atas cuma berupa contoh kecil betapa Dia tidak akan menyia – nyiakan pilihan hamba – Nya yang dibuat dalam kebaikan.

Dan dengan membuat sebuah pilihan, kita tidak hanya belajar tentang berharganya setiap momen dalam hidup, tetapi juga menyadarkan kita bahwa tidak semua pilihan dapat kita ambil walaupun pilihan tersebut baik.

Memang, kita akan pusing menentukan prioritas jika itu tentang amanah. Namun, kenapa kita tidak bisa dengan mudah percaya bahwa Dia akan menunjukkan pada kita kebaikan dari prioritas yang kita ambil?

Bahkan saat pilihan itu menjadi sesuatu yang pahit. Bahkan saat pilihan itu menjadi sesuatu yang membuat kita bersedih. Bahkan saat pilihan itu akan membuat kita kehilangan. Percayalah bahwa selama pilihan itu kita buat dalam kebaikan, kebaikan dari pilihan itu akan datang dan membuat kita tersenyum.

Karena Dia selalu mengetahui apa yang dibutuhkan hamba – Nya. Karena Dia akan selalu adil pada hamba – Nya yang bisa berlaku adil.

Hapusan Kalbu Pada Waktu

Tak urung langkah yang terpijak terlampaui
Terkuak memori indah masa – masa terbuai
Silaukah mata batin yang kau buka dulu?
Sehingga lupa kau melihat seperti apa aku

Usahlah kau ada selalu di sisi
Urung aku di sini tak menanti
Bahwa hati ini tak akan tertaut ke lain kalbu
Bumikan rasa hati terbangkan jiwa ke langit biru



Senin, 30 Mei 2011

C.I.N.T.A.

Cinta itu bukanlah seperti remaja yang sedang mengeja rasa. Dan, jangan sesekali menyederhanakannya dengan mengatakan bahwa ia hanya layak untuk menjadi bagian dari sebuah cerita belaka, seperti yang dipaksakan ada dalam telenovela. Hari ini, ternyata kita sedang tidak lagi bisa merasa bangga untuk berbicara tentang cinta. ya, karena kita sudah mabuk dalam wacana-wacana yang kita pandang lebih berguna. Obrolan politik terlihat lebih sempurna untuk menjadi bagian dari diri kita sejati, entah agar kita bisa lebih terpublikasi dengan berharap bisa membuat tertekuk para bidadari.

Kita telah begitu mendewakan kedewasaan. Sehingga merasa tidak perlu lagi mengupas cinta. Ah, entahlah. Akupun tidak berani mengatakan itu sebagai sebuah ketololan, kawan.

Aku tercenung sembari mencoba untuk merenung. Apakah aku yang telah gila untuk memaksa bicara tentang cinta. Tapi, bukankah memang cinta menjadi obat mujarab yang takkan pernah bisa diramu para tabib untuk mengobati derita. Aku melihat wajah-wajah derita di kota-kota. Membaca cerita tentang orang-orang yang menderita di berita-berita media. Bukankah itu semua bisa tertanggulangi dengan cinta?

Aku hanya bicara dengan semua yang telah kupercaya. Karena saya percaya ini cinta masih lebih berharga dari logika yang dipaksakan ke dalam beribu kata.

Mari pelajari cinta dengan sepenuh rasa, hingga ia kuasa menepis segala cerita durja. Musnah segala logika-logika yang justru membuat manusia semakin nista.

-Dikutip dari http://umum.kompasiana.com/2009/09/18/dalail-cinta/ oleh Zulfikar Akbar-

Kebetulan sedang browsing dan dapat tautan artikel di atas. Setelah dibaca, artikel di atas membuat saya berpikir. Belajar tentang cinta? Tidak perlu belajar tentang cinta pada pujangga – pujangga yang pintar merangkai kata, pada aktor panggung yang lihai berkata – kata, atau pada orang tua yang telah lama menjalani hubungan rumah tangga. Kenapa? Karena kita mempunyai Dia Yang Maha Mencintai. Dia yang selalu mencintai manusia, bahkan saat manusia itu kufur terhadap-Nya. Nikmat-Nya selalu dikucurkan pada manusia dan Dia tidak melihat apakah manusia itu beriman atau ingkar pada-Nya.

Sonata Paradoks

bukan sepatah majas
cuma kata serangkai yang tak terucap
jujur cuma hatiku berbisik
sayang dusta lidahku menari

mungkin
wajahmu yang kudamba
pada tiap muka kulewati
pada jengkal tapak kujejaki



mungkin
hatiku tercuri
pada alunan melodimu tergerai
pada sayup bulir airmu menderai


Sabtu, 21 Mei 2011

Sonata Langit Malam

Temaram
Mengundang gelap tertumbuh kelam
Tanpa bintang berselimut kabut silam
Sayu lampu cuma geram

...Terhampar
Karpet Hitam pada satu bumi
Menutup lukisan gemerlap tercipta
Menyajikan cekaman menenangkan

Cuma terasa kecil
Di sebuah galaksi hitam
Mengingat sebuah cahaya akan datang
Menunggu dalam langit malam


Sonata Langit Malam
23 April 2011 00:36

Selasa, 17 Mei 2011

Sesungguh Hati

Habiskah ruang?
Sudah hati ini terjatuh dari terang?
Meninggal lubang dalamnya jurang
Kala hangat lupa memeluk dingin bayang

Semurah itu arti?
Kenapa tak tertemu sebuah sejati?
Bahkan setelah lama tertanam pada diri
Apakah luka diri akan selalu terpatri?

Lalu ironis?
Kala palsu di dalam menjadi bengis
Tandus mata tak tertangis
Bahkan setalah kering hati ini dikais

Mahalkah sebuah paham?
Karena hati ini telah melegam?
Atau selimut ini terlalu kelam?
Untuk sekedar membuncah nikmat kalam

Sesungguh Hati
17 Mei 2011
22:55

Sonata Kalbu Abu Abu

lalu kenapa kau menjadi abu - abu, wahai kalbu?



salah diri ini?
saat rasa yang mengkotori hati
tak lelah melelahkan
satu hati yang sedang rentan

salahkah tanyaku
saat tak lagi hatiku mampu
menali kekang panas amarah
kala terbakar diriku dalam gundah


Seharusnya

Baru kemarin pagi saat saya memacu sepeda motor melintasi kota Jogjakarta. Terasa beda antara hidup di sini dengan di kos perjuangan sana. Ah, tentang hidup berarti tentang dunia juga.

Entah dengan anda, tapi saya sendiri berpendapat dunia ini selalu penuh peraturan. Tak perlu menyebut bentuk dan jenis peraturan tersebut, karena saya rasa kita sudah sama – sama mengerti.

Berbicara tentang peraturan berarti juga berbicara tentang cita – cita yang ingin dicapai manusia. Tanpa anda sadari, anda telah membuat peraturan sendiri kepada diri anda. Bangun jam sekian, berangkat kantor jam sekian, pulang jam sekian, bersih – bersiih rumah hari libur, jalan – jalan di akhir di minggu dan sebagainya.

Ah, betapa manusia ingin sekali menjalankan hidup ini, dunia ini seperti seharusnya yang manusia inginkan. Semua kebutuhan tercukupi, keselamatan terjamin, masa depan cerah, keluarga yang bahagia dan berkah, 
dan masih banyak lagi hal – hal yang manusia inginkan seharusnya terjadi.

Senin, 16 Mei 2011

Kemudahan dan Kesusahan

Pasti akan sangat menyenangkan jika hidup kita selalu dipenuhi dengan kemudahan. Karena memang sudah hakikat manusia untuk bergerak seefisien mungkin, kita akan selalu berpikir untuk mencari kemudahan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan hal yang paling manusia inginkan adalah sebuah kesuksesan, sukses dalam mengenyam pendidikan, sukses dalam karir, sukses dalam bermasyarakat, sukses dalam berkeluarga dan masih banyak sukses lain yang diinginkan manusia.

Ada pepatah mengatakan “berakit – rakit ke hulu, berenang – renang ke tepian”. Pepatah tersebut mengajarkan untuk bersakit – sakit, bekerja keras memeras keringat sebelum merasakan kemudahan dan kesuksesan karena kemudahan dan kesuksesan itu akan terasa benar – benar manis saat kita telah memberikan yang terbaik. Namun, di saat kerja keras itulah, akan selalu ada beberapa dari kita yang mencari “jalan pintas”.

Ruang Putih

Di ruang putih ini, terpampang jelas pada layar televisi sebuah kejadian yang tidak layak terjadi di negeri yang katanya sudah merdeka ini. Dan tidak cuma satu dua kali, tapi berkesinambungan tak henti. Mulai dari wajah pencuri, selingkuhan pasutri, pelaku pembunuh yang dicari, dan korban bunuh diri sampai pejabat negeri dan menteri yang korupsi.

Di ruang putih ini, mataku cuma duduk diam di tempatnya berada. Cuma bisa melihat apa yang kentara. Mata ini cuma menyalurkan gambaran yang tertera. Lalu, seolah mengejek pemahamanku yang di bawah rata – rata, otakku terus saja menyimpan apa yang tersalurkan padanya. Tanpa proses langsung saja masuk arsip tidak pakai pranala. Tak ayal hatiku yang mulai mati rasa. Yang melewatkan semua yang terjadi begitu saja. Seolah menjadi batu bata. Jangankan melihat sebuah cita, genggamanku tak lagi kuat untuk memenjara sebuah asa.

Sonata Hujan Petir dan Rembulan

bahkan tanpamu, rembulan
tetap akan terlihat bersinar
langit malam yang tercoreng oleh sekilat petir
tapi engkau hadir, rembulan

menodai sebuncah yang petir cipta
menawan karsa terbungkus dalam indah
menjebak waktu dalam sebuah bayang
merangkai manusia dalam abstraksi karsa

'kah dirimu datang, rembulan?
saat selimut gelap tergerai
kala sinar tak kuasa menerpa
waktu hati tenggelam hitam fana

Sonata Hujan, Petir, dan Rembulan
17 April 2011
20.59

Sonata Hitam Putih

Di mana Sang Putih berdiri?
saat tempat damai tiada lagi
terpenuhi abu - abu mencaci
ternilai niat yang tak lagi suci

Di mana Si Hitam terpatut?
karena sarkastik selalu mengikut
menghujan perih dalam hati yang berlutut
dalam sebilah pisau bernama rasa takut

Di mana sebuah tempat?
agar Sang Putih tegar dan kuat
dikitar Si Hitam terawang kuat
angan sepadan harmoni cuma tercuat

Di mana sebuah waktu?
teringat Si Hitam diam tergugu
terperi khidmat Sang Putih mendayu
merangkai separuh dunia terbisu

Di mana sebuah arti?
kala Si Hitam tulus terberi
bersih Sang Putih cuma mengasihi
memadu kasih dalam ruang hati

Sonata Hitam Putih
29 April 2011
08:59

Peduli

Pernah berpikir seperti ini? “Peduli itu sebenarnya apa sih?”

Saya pernah, dan bahkan sering, menyediakan waktu di antara fananya dunia hanya untuk berpikir kembali bagaimana sebuah bentuk peduli di dalam hati. Mungkin kita pernah merasakan, ada suatu rasa di dalam hati yang membuat kita tergerak untuk berbuat. Entah itu berbuat untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain. Dan kita juga merasakan, saat kita telah berbuat untuk memuaskan rasa yang ada di dalam hati itu, kita akan merasakan suatu sensasi berbeda. Entah bagaimana menuliskannya dengan kata – kata. Pun, saat kita mengingkari rasa itu dan tidak berbuat sesuatu saat itu juga, kita juga pasti mengalami suatu perasaan kelu di dalam hati atau entah apa kata yang cocok menurut pribadi kita.

Ketika Bumi Mengeluh

Bumi mengeluh. Namun, bukan karena umurnya yang sudah berjuta – juta tahun. Bumi mengeluh. Beberapa tahun ini dia didaulat Allah untuk sedikit memberantakkan dirinya. Bumi patuh saja. Sudah beberapa kali dia membuat berantakan dirinya. Dia mengibaskan ombak di lautan yang tenang dan membuat samudera beriak dan beberapa kali timbul tsunami. Dia berulang – ulang menggoyang tubuhnya dan menciptakan gempa. Sering dia meniup angin yang tenang sehingga terjadi badai dan angin rebut. Berkali – kali juga dia bermain dengan gunung – gunung berapi di kulitnya, membuat mereka meletus di sana – sini. Bumi mengeluh karena capai memberantakkan dirinya? Ternyata tidak.

Bumi senang – senang saja memberantakkan dirinya. Dia merasa terlalu anteng beberapa milenium ini. Namun, dia mengeluhkan manusia. Manusia? Kenapa bumi mengeluhkan manusia?


Suatu hari bumi berkesempatan untuk berbincang – bincang dengan Allah.


"Ya Allah. Maafkan hamba-Mu ini jika hamba lancang. Namun, bolehkah hamba mengajukan pertanyaan kepada-Mu Rabbku Yang Maha Mengetahui segala sesuatu?"


2 Suara

"Tak berguna kau terus ada di sini!!" suara itu menggema di kepalaku. "Masih saja kau berharap?!Tak ada guna!!Cuma buang–buang waktu!!" suara yang lain mengiang menyahut. Aku cuma bisa bungkam, menertawakan diriku sendiri dalam hati. Sekelebat memori masa lalu yang pahit kembali lagi melintas di jalan ingatanku. Sungguh pahit.
***
Aku duduk lagi di tempat yang sama, menikmati indahnya langit Wirobrajan dari atap masjid Al Uswah. Termenung. Aku ingat lagi suara–suara itu. Keras pikirku tentang siapa mereka. Lucu, aku bahkan lupa sejak kapan 2 suara itu mulai menggaung di kepalaku. Memang saat awal mereka 'muncul', mereka menjadi teman ngobrol yang baik, tapi lama kelamaan mereka mulai mempengaruhiku, mengingatkanku tentang masa lalu yang tak pernah ingin kuingat lagi.


"Mas Sya'ban!!!"


DEG!Hampir saja aku jatuh dari tempatku duduk, tempat favoritku saat melamun di atap, di pinggir atap yang menghadap ke tempat parkir SMA 1. Kucari sumber suara itu, dan ternyata dari tempat parkir. Di sana seorang akhwat berdiri sambil berkacak pinggang.


"Ngelamun lagi nih, Mas?" tanya akhwat itu


Dengan jilbab lebar dan besar dan tak lupa seragam khas SMA 1, Wiji berdiri di depan gang kecil menuju masjid sambil memandang ke arahku.


"Woi, ditanyain juga. Malah diem lagi. Hampir jatuh tuh tadi. Makanya kalo ngelamun jangan 
kebablasan."


"Enak aja. Yang bikin aku hampir jatuh ya kamu itu. Orang lagi enak duduk malah diteriakin."


Wiji ini anak kelas X. Orangnya memang agamis tapi kelakuannya bisa dibilang tomboi juga. Walaupun tomboy, entah kenapa aku bisa melihat keanggunan dari akhwat ini. Ck, berpikir apa aku ini? "Jaga hati boy!" kataku pada diriku sendiri. Tapi kadang aku juga berpikir, kalau aku diberi kesempatan keliling dunia, orang aneh jenis apalagi yang akan kutemui. Di sekolah ini saja sudah banyak, bagaimana kalau di luar sana?


"Ngapain tadi kamu manggil, Wij?" tanyaku


"Nggak ada apa – apa sih, Mas. Cuma iseng aja nggangguin orang yang lagi ngelamun, hehe." balasnya sambil terkekeh.


"Weleh, ya udah. Hus hus sono pergi pergi. Ganggu orang aja."


"Yeee, malah ngusir nih. Ya udah, hmph." balasnya sambil memalingkan muka dan menghilang ke dalam gang.

MUAK

Jujur. Sebenarnya tulisan kali ini tidak saya buat dalam keadaan ingin menullis sesuatu atau ingin mencurahkan sesuatu.


Lebih tepatnya, saya sedang muak. Muak dengan keadaan lingkungan sekitar saya. Muak dengan lingkungan kampus. Muak dengan orang – orang di sekitar saya, dan mungkin anda yang membaca tulisan ini pun turut dalam "orang – orang" yang saya sebut di atas.


Ah sudahlah. Anda boleh tersinggung dan saya tidak mempermasalahkan apa yang anda rasakan. Toh apa anda peduli?


Anda mungkin akan bilang orang seperti saya ini kekanak – kanakan, childish, pembual, penggerutu, atau apalah yang cocok menurut anda. Lalu apa anda tidak? Apa anda merasa tidak pernah merasakan apa yang saya rasakan sekarang ini? Pasti anda tidak mau dikatakan munafik jadi pasti anda akan menjawab seperti ini : "tentu saya pernah, tapi dengan satu dan dua cara saya bisa mengatasi situasi seperti yang anda alami"


Anda tahu? Jawaban seperti itu lah yang membuat saya lebih muak lagi.

 
Anda mau tahu kenapa?