Sabtu, 04 Juni 2011

Malam Itu

Malam itu seperti biasanya. Selimut langit yang hitam berhiaskan indah bintang dan senyuman rembulan. Malam itu seperti biasanya, aktivitas sudah terlihat lengang karena orang – orang mulai kembali ke peraduannya, menjelajah alam mimpi. Malam itu seperti biasanya, Resi duduk di atap rumahnya, merenung.

Malam itu seperti biasanya. Ia berbicara dengan dua temannya di depan pos satpam sekolahnya dulu. Tidak bisa dilukiskan seperti apa warna hati Resi pada malam itu. Sebuah fakta yang pahit menjangkau permukaan dan menampar dirinya dengan keras. Dan Resi merasa sangat bodoh. Malam itu seperti biasanya, hanya saja terpaut oleh puluhan ribu detak waktu yang telah berlalu.

“Huft, salahku ya? Kenapa tidak sadar lebih awal? Kenapa juga aku tidak berusaha memperbaiki diri?” ia bertanya lagi pada dirinya. Dan entah sudah berapa kali pertanyaan yang sama memenuhi sunyi malam itu. 

Dan entah sudah berapa kali benak Resi berjalan kembali ke masa malam itu.

“Mas itu sebenarnya baik kok, cuma mungkin kebiasaan mas kadang tidak pas. Dan itulah yang menyebabkan dia merasa sebal sama mas.”

“Kalau menurutku sebaiknya mulai sekarang kamu lebih berpikir lagi sebelum bertindak, Res. Karena kamu tidak akan pernah tahu akibat dari tindakanmu, kan?”

Selama ini, Resi tidak pernah merasa takut berbicara tentang mimpi karena ia selalu percaya semakin banyak orang yang tahu semakin banyak pula doa yang terucap. Dulu, saat masih duduk di bangku SMP, ia selalu bercerita tentang mimpi untuk melanjutkan sekolah di salah satu SMA favorit di kota. Mimpi itu pun menjadi kenyataan. Dan saat SMA, Resi tidak pernah ragu untuk bercerita tentang mimpi untuk melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi ternama. Mimpi itu pun kembali menjadi kenyataan.

Dan malam ini, ada satu mimpi yang menjadi sumber renungan Resi. Mimpi ini adalah mimpi Resi tentang hati. Tentang separuh agama yang harus dilengkapi. Tentang sebuah keluarga. Mimpi Resi ini adalah mimpi tentang seorang wanita.

***
Masih langit yang sama pada malam itu. Bulan menampilkan senyuman indah dalam pancaran sinarnya. Resi pun tersenyum. Bulan malam itu mengingatkan Resi kembali tentang apa yang telah terucap dari mulutnya sendiri. Kata – kata yang terucap pada malam yang sama dan tempat yang sama saat ia menghadapi seorang yang punya masalah yang sama.

“Kenapa harus bingung? Jika dia memang jodohmu, percaya saja. Percaya bahwa dia akan menjaga hatimu. Percaya bahwa Tuhan tidak pernah mengingkari apa yang telah Dia tetapkan. Dan saat sudah percaya, hanya tinggal keinginanmu untuk terus maju dan untuk memperkeren diri yang harus dijaga.”

“Bisa semudah itu? Apa pernah ada jaminan bahwa orang yang kau sukai itu akan jadi pendamping hidupmu nanti?” temannya bertanya dan sekilas keraguan terpancar dari raut wajah yang bertanya.

“Tidak akan ada sebuah jaminan dan tidak akan pernah.” Resi menjawab dengan mantap, “Tapi bukankah seorang muslim yang baik adalah untuk seorang muslimah yang baik dan begitu juga muslimah yang baik adalah untuk seorang muslim yang baik?”

Dan yang ditanya pun terdiam sesaat.

Resi pun menambahkan, “Lebih baik untuk sekarang ini, kita fokus untuk memperbaiki diri dulu daripada cuma mengurusi masalah anak orang lain yang belum tentu akan jadi pendamping kita.”

Temannya itu bertanya lagi, “Dan apa yang akan Kau lakukan saat kau tahu bahwa wanita impianmu itu akan menikah dengan laki – laki lain, Res?”

Senyuman yang sama dengan malam ini terpancar dari wajah Resi.

“Ikhlas. Aku tahu awalnya pasti sakit. Namun, ikhlaskan dia karena mungkin itu yang terbaik untuknya dan untukku. Dan mungkin ikhlasku akan menambah keberkahan hidupku.”

“Aku pun tidak mau menunggu atau ditunggu. Rencanaku sudah jelas. Dan sudah kuniatkan sejak awal untuk menikah entah dengan dia atau dengan wanita lain.”

Kata – kata memang sangat mudah untuk diucapkan karena lidah itu tidak bertulang. Dan malam itu, Resi merasa sangat yakin dengan apa yang terucap oleh lidahnya. Namun malam ini, Resi tercenung. Dia merasakan kelu yang lama tidak dia rasakan. Lama sekali, sejak ia sudah mengikhlaskan sebongkah rasa yang tertanam di hatinya.

***
Malam itu seperti biasanya, semakin larut dan semakin memeluk tiap manusia yang berada dalam peraduannya untuk terus lelap dalam mimpi masing –masing. Namun, pelukan sang malam tidak membuat Resi ingin menjelajah alam mimpi. Ia masih meresapi tiap detak waktu yang telah ia lalui.

Resi tidak takut untuk bermimpi bahkan di saat mimpi itu hanyalah sebuah angan – angan yang terlalu jauh untuk dicapai. Ia selalu percaya bahwa segala daya dan upaya akan membawa setiap diri yang berani bermimpi untuk menggapai mimpi yang ada di dalam hati. Dan Resi selalu menyampaikan pemikiran seperti ini kepada teman – temannya. Agar mereka tidak takut untuk bermimpi. Agar mereka tidak perlu merasa malu untuk menceritakan apa yang menjadi mimpi mereka.

Namun, segala sesuatu dari manusia pasti membawa kebaikan dan keburukan setelahnya. Sifat manusia tidak dapat selalu dikatakan baik atau buruk jika sudah berbeda tempat, waktu dan konteks. Resi sadar akan hal itu. Sadar bahwa waktu akan menyajikan sebuah realita lain dari sifatnya itu. Sadar bahwa waktu telah datang membawa sebuah sajian cacat sifat pada dirinya.

“Apa mas nggak merasa kalau dia itu sebenarnya risih dan sakit mas? Rencana mas untuk menikah tidak perlu dibicarakan pada banyak orang, kan? Walaupun memang mas sudah bilang bahwa mas tidak ingin menunggu atau ditunggu, tapi intepretasi orang – orang pasti akan mengarah pada dia yang mas inginkan untuk menjadi pendamping hidup mas, kan?”

Tidak pernah ada sedikit pun niat dari Resi untuk mengganggu kehidupan wanita itu, apalagi sampai menyakiti hati lembutnya. Namun, itulah yang telah terjadi. Ia telah menyakiti seorang wanita yang dia sangat sayangi setelah surganya. Ia telah mengusik hidup wanita itu. Bahkan setelah ia berikrar pada dirinya sendiri untuk mengikhlaskan rasa yang pernah tumbuh di antara ia dan wanita itu.

Ya, rasa itu tumbuh karena mereka memang pernah dekat dulu. Sangat dekat malah sehingga kedekatan mereka menjadi satu perbincangan di SMA mereka yang notabene agama sangat kuat di sana. Memang salah Resi, karena ia tidak dapat mengendalikan diri.

“Bukannya mengingatkan, tapi malah ikut – ikut membelok.” kenang Resi.

Dan kedekatan itu juga membawa sifat Resi mendapat pelampiasan. Rasa ingin tahu. Wanita itu menjadi tempat Resi bertanya dan mencari tahu tentang kondisi SMA dan adik – adik saat ia sudah lulus. Dan ini pun menjadi salah satu alasan wanita itu tersakiti. Hati Resi kembali kelu.
***

Malam itu seperti biasanya. Hawa dingin subuh mulai menghampiri, menyapa setiap orang yang tertidur untuk tetap pulas dan lalai akan kewajiban mereka untuk menunaikan ibadah. Dan Resi masih terjaga. Lebih diam dari sebelumnya. Resi tidak lagi melihat taburan bintang pada langit malam. Resi kali ini tertunduk. Hatinya menjadi segelap malam saat memasuki bulan baru. Dan mata itu menjadi merah, bukan karena menahan kantuk yang seharusnya terpuaskan haknya. Mata itu bertransformasi menjadi sebuah mata air yang mengalirkan sebuah sungai tangis.

Cuma ada satu kata yang selalu terucap berulang kali dari mulut Resi.

“Maaf.”

“Maaf”

“Maaf”

Dan sayup adzan subuh menghampiri malam itu. Pertanda bahwa hari baru akan dimulai. Begitu juga untuk Resi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar