Senin, 16 Mei 2011

Ruang Putih

Di ruang putih ini, terpampang jelas pada layar televisi sebuah kejadian yang tidak layak terjadi di negeri yang katanya sudah merdeka ini. Dan tidak cuma satu dua kali, tapi berkesinambungan tak henti. Mulai dari wajah pencuri, selingkuhan pasutri, pelaku pembunuh yang dicari, dan korban bunuh diri sampai pejabat negeri dan menteri yang korupsi.

Di ruang putih ini, mataku cuma duduk diam di tempatnya berada. Cuma bisa melihat apa yang kentara. Mata ini cuma menyalurkan gambaran yang tertera. Lalu, seolah mengejek pemahamanku yang di bawah rata – rata, otakku terus saja menyimpan apa yang tersalurkan padanya. Tanpa proses langsung saja masuk arsip tidak pakai pranala. Tak ayal hatiku yang mulai mati rasa. Yang melewatkan semua yang terjadi begitu saja. Seolah menjadi batu bata. Jangankan melihat sebuah cita, genggamanku tak lagi kuat untuk memenjara sebuah asa.

Di ruang putih ini, aku menerawang. Selalu saja tentang hal tidak baik dari sekitarku yang terngiang. Bulan lalu, pembantaian satu keluarga malang. Minggu kemarin, penculikan gadis juragan kebun kacang. Dan baru sehari yang lalu, penggrebekan rumah bordir yang membuat para PSK tunggang langgang. Cuma sesekali saja ada berita yang membuat daun kuping lenggang. Dan frekuensinya pun 
jarang – jarang.
***
Lalu aku kembali teringat. Kala pekikan kemerdekaan terkumandang di bawah matahari menyengat. Saat pejuang kemerdekaan tumpah ruah untuk memperingati hari merdeka dengan khidmat. Mereka menikmati hasil perjuangan tanpa berdebat. Meresapi makna sebuah kemerdekaan lamat – lamat. Tanpa pamrih, cuma untuk Merah Putih dapat berkibar tak tergugat. Betapa perjuangan waktu itu di hati akan terlekat.
Dan aku kembali merasakan. Tegangnya otot saat langkah demi langkah kutiti demi kemerdekaan. Gendang telinga yang hampir pecah tiap peluru muntah dari senapan, tiap mesiu meledak di benteng kompeni saat penyerangan. Bulu roma yang terbangun tiap kata “MERDEKA!” terucap saat merengkuh kemenangan. Kosongnya hati saat kulihat tatapan mata seorang prajurit kompeni meregang mati yang tak tertahankan. Bau busuk mayat, amis keringat, gosong mesiu dan semua wewangian perang kembali terhadirkan.
***
Di ruang putih ini, aku kembali menangis. Saat aku dengar kembali Pak Karno dan Pak Hatta mendengungkan teks proklamasi yang sekarang sudah terkikis. Kata demi kata yang dulu serasa membuat satu negara terdiam dalam magis. Aku merasa berjalan menelusur lorong historis. Aku melihat lagi tatapan rakyat yang tak lagi skeptis. Aku mendengar lagi helaan napas terakhir saat proklamasi terbacakan sebelum para pejuang berteriak histeris. Aku larut merasakan euforia merdeka setelah mengalami masa – masa tragis.

Aku kembali lagi ke ruang putih. Aku sadar bahkan untuk sekedar berucap pendek pun aku tertatih. Aku sadar bahwa kulitku sudah pucat tak akan lagi pulih. Aku sadar kedua tanganku selalu bergetar ringkih. Aku sadar kedua kakiku tak bisa lagi melangkah untuk memilih. Aku sadar citaku sekarang cuma sebesar bawang putih.

Aku sadar. Namun tidak dapat kuterima.

Aku sadar. Merana diri ini dalam suatu tidak guna.

Aku sadar. Aku cuma renta yang tak lagi dipuja.

Aku sadar. Habis telah perjuanganku untuk negeri yang kucita.

Aku menangis.

2 komentar:

  1. Duh, sial. Nggak kayak WP, nggak ada halaman home buat dikomen, sih. Cuma mau ngomong, layoutnya terlalu nggeser ke kanan, Much, rada kurang pewe. Tapi yo rapopo sih, toh tulisan utamane nggak kepotong.

    BalasHapus
  2. hmmm. .

    bingung wand ngotakatik layout e (doh)

    iki weee langsung install template, radong aku nek kon utik2 css dkk --a

    ada saran?

    BalasHapus